Oleh:Boy Anugerah
BERITA TERKINI - SEJAK diumumkan pertama kali oleh Presiden Joko Widodo pada 3 Maret yang lalu, total kasus positif Covid-19 terus meningkat jumlahnya.
Per 10 April misalnya, seperti yang disampaikan oleh Jurubicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, jumlah kasus positif menembus angka 3.512. Dari total kasus positif tersebut, 282 orang dinyatakan sembuh, 306 orang meninggal dunia, sisanya mendapatkan perawatan.
Tingkat kematian (case fatality rate) kasus positif Covid-19 berdasarkan angka tersebut adalah 8,71 persen. Sebagai perbandingan dengan negara lain, dengan mengacu pada total kasus positif yang eksisting, Indonesia berada pada posisi ke-36 menurut Worldometer.
Lima negara dengan status paling terdampak wabah Covid-19 adalah Amerika Serikat (400.549 kasus), Spanyol (141.942 kasus), Italia (135.586 kasus), Perancis (109.069 kasus), dan Jerman (107.663 kasus).
Saat ini, upaya yang dilakukan oleh pemerintah bisa dikatakan cukup memadai melalui penerapan social distancing, penguatan sarana dan prasarana (sarpras) medis dalam mitigasi dan penanganan Covid-19, hingga pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan di berbagai wilayah untuk menekan angka positif Covid-19.
Covid-19 sebagai sebuah pandemik global memiliki signifikansi terhadap berbagai aspek dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dari berbagai aspek yang terdampak, aspek ekonomi, politik, dan sosial menarik untuk dicermati.
Dalam tataran ekonomi, pandemik Covid-19 memberikan pengaruh yang besar terhadap mikroekonomi dan makroekonomi nasional. Dalam konteks mikroekonomi misalnya, para pelaku industri atau penyedia barang dan jasa suka tidak suka harus menderita kerugian yang cukup besar akibat penurunan permintaan (demand) sebagai konsekuensi kebijakan pembatasan sosial yang dilakukan oleh pemerintah.
Pada tataran lebih lanjut, para pelaku industri skala besar harus mengurangi atau bahkan menghentikan kegiatan operasionalnya karena penurunan permintaan tersebut.
Dalam tataran makroekonomi, pemerintah harus merevisi APBN sebagai konsekuensi berbagai langkah emerjensi yang diambil, seperti pemberikan paket stimulus fiskal dalam tiga gelombang (stimulus ditujukan untuk pelaku usaha dan kelompok masyarakat terdampak), serta realokasi anggaran untuk memperkuat sektor kesehatan dalam penanganan Covid-19.
Aspek lainnya yang tak kalah terdampak adalah aspek politik. Seperti diketahui bersama bahwa ada beberapa agenda politik penting di tahun 2020.
Pertama, adalah penyelenggaraan Pilkada serentak di 270 daerah pada September nanti. Wabah Covid-19 yang belum bisa diprediksi kapan akan berakhir ini menimbulkan perdebatan, apakah penyelenggaraan Pilkada tetap berjalan atau ditunda penyelenggaraannya.
Mengenai hal ini, menarik untuk disimak lebih lanjut plus minus kedua opsi tersebut. Jika benar ditunda, maka dampak politik apa yang mungkin terjadi, sebaliknya jika hendak dilanjutkan, persiapan seperti apa yang harus dilaksanakan.
Selain itu, masih terkait dengan gelaran Pilkada 2020, pandemik Covid-19 membawa implikasi yang signifikan terhadap strategi kampanye partai politik dan para kandidat yang bertarung dalam pesta rakyat tersebut.
Tidak dimungkiri, secara tidak langsung eksistensi Covid-19 dan penanganan yang dilakukan oleh pejabat publik di masing-masing daerah menjadi tolok ukur penilaian masyarakat atas kinerja inkumben yang hendak bertarung kembali dalam pilkada. Sedangkan bagi penantang, pilihan kebijakan yang diambil oleh inkumben menjadi poin penting untuk dikritisi. Kelemahan inkumben dalam penanganan wabah secara tidak langsung bisa menjadi kredit poin bagi penantang.
Agenda kedua dalam konteks politik adalah rencana pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke Kalimantan. Rencana pemindahan ibukota ini telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang mana ibukota baru akan dibangun di wilayah administratif Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kertanegara, Provinsi Kalimantan Timur.
Dalam konteks Indonesia hari ini, rencana pemindahan ibukota ini menarik untuk dicermati mengingat tahun ini merupakan tahun yang diagendakan untuk dua hal, pertama, undang-undang sebagai payung hukum kebijakan ini perlu dibahas segera antara pemerintah dan DPR, dan kedua, jika undang-undang sudah disetujui bersama, maka pembangunan akan segera dilaksanakan pada tahun ini juga dengan target pemindahan akan dilaksanakan secara bertahap pada 2024.
Di tengah wabah Covid-19 yang belum ditangani secara optimal, tentu saja pembahasan mengenai rencana ini menimbulkan pro dan kontra. Hal ini terkait erat dengan krisis ekonomi yang dihadapi oleh negara yang berpotensi membuat defisit APBN kian lebar dan pertumbuhan ekonomi terpuruk menjadi minus sekian persen. Sebagain kalangan berpendapat bahwa rencana ini sebaiknya dibatalkan dan dananya dialihkan guna penanganan Covid-19 serta pemulihan ekonomi pasca wabah nantinya.
Masih dalam konteks politik, pembahasan mengenai berbagai rancangan undang-undang dalam skema omnibus law juga mendapat sorotan dari masyarakat dan kelompok masyarakat madani. Rancangan undang-undang bertajuk cipta lapangan kerja dan perpajakan dalam skema omnibus law tersebut juga rencananya akan dibahas antara pemerintah dan parlemen pada tahun ini.
Diberitakan bahwa pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) begitu getol menginginkan agar kedua rancangan undnag-undang tersebut bisa segera disetujui bersama. Hanya saja lagi-lagi jika merujuk pada kondisi hari ini, rencana pembahasan tersebut menuai pro dan kontra di masyarakat.
Pertama, banyak pihak berpendapat bahwa fokus pemerintah seharusnya total pada penanganan Covid-19 yang belum bisa diprediksi kapan berakhir. Kedua, objektif kedua rancangan undang-undang tersebut pada hakikatnya adalah menggairahkan sektor investasi di dalam negeri.
Namun demikian, objektif tersebut seakan tak menemui relevansi karena lebih dari 200 negara di dunia, baik dengan skala ekonomi besar maupun kecil, semuanya terdampak oleh wabah Covid-19. Sulit untuk mengharapkan foreign investment dengan kondisi tersebut. Sehingga dengan demikian, apabila kedua rancangan undang-undang tersebut disetujui, maka kurang membawa dampak yang signifikan bagi perekonomian, khususnya untuk kondisi tahun ini (current year).
Aspek ketiga yang paling terdampak oleh wabah Covid-19 adalah aspek sosial kemasyarakatan. Ada dua isu penting pada aspek ini. Pertama, pemetaan mengenai tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Kedua, mengenai dua hajatan besar dalam beberapa bulan ke depan, yakni bulan suci Ramadhan dan mudik lebaran.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah begitu menyadari bahwa langkah pertama dan utama dalam menghentikan penyebaran Covid-19 adalah dengan membatasi interaksi sosial di masyarakat.
Oleh sebab itu, diambillah kebijakan social distancing atau pembatasan sosial yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk bekerja, belajar, dan beribadah di rumah (working, learning, and praying from home). Hanya saja tak semua masyarakat menyadari objektif dari kebijakan ini.
Peningkatan jumlah kasus positif Covid-19 yang bergerak secara eksponensial suka tidak suka salah satunya disebabkan oleh rendahnya kesadaran masyarakat (social awareness) untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam membatasi aktivitas masyarakat. Situasi dan kondisi tersebut secara tidak langsung memberikan gambaran kepada pemerintah bahwa tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum masih sangat rendah.
Oleh sebab itu, kebijakan penegakan hukum (law enforcement) dengan mengerahkan aparatur negara seperti polisi, TNI, dan perangkat pemerintah di daerah untuk mengawal kebijakan social distancing adalah pilihan yang tepat.
Selain itu, pemerintah mulai sekarang harus berhitung dengan cermat dalam memutuskan kebijakan mudik tahun ini. Ada puluhan juta masyarakat yang akan bergerak secara masif dari kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan lainnya, menuju ke berbagai daerah.
Situasi tersebut merupakan high risk condition bilamana penanganan Covid-19 belum tuntas pada waktu tersebut. Lebih lanjut, pilihan kebijakan yang diambil pemerintah dalam merespons isu mudik akan terkait erat dengan pilihan kebijakan ekonomi yang akan dikeluarkan untuk menahan laju arus mudik.
Besar kemungkinan pemerintah akan mengeluarkan stimulus fiskal gelombang lanjutan sebagai insentif agar para pemudik tidak memutuskan pulang ke kampung halaman pada hari raya. Tak hanya dalam tataran ekonomi, pengaturan arus mudik juga butuh dikawal oleh kebijakan di bidang hukum untuk memastikan kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Pemerintah juga kemungkinan akan menyiapkan stimulus fiskal untuk menopang sektor industri angkutan atau transportasi yang lagi-lagi harus terpukul jika mudik menjadi aktivitas sosial ekonomi yang dilarang untuk dilakukan tahun ini.
(Alumnus Magister Ketahanan Nasional Universitas Indonesia, Mahasiswa Pascasarjana Studi Kepemerintahan dan Kebijakan Publik di SGPP Indonesia.) (*)