Oleh: Djoko Edhi Abdurrahman
SECARA adatnya, pertumbuhan ekonomi dapat dikerek, jika pemimpinnya diganti. Ganti si Jokowi, ayo taruhan potong leher, ekonomi meroket. Itu yang selalu dikerjakan orang. Ekonomi melesak, ganti pemimpinnya. Sembuh? 73 persen sembuh.
Secara ilmu ekonomi, yang diperbaiki dengan mengganti pemimpin adalah faktor lucky (keberuntungan). Faktor lucky dalam ilmu ekonomi, menempati variabel teratas. Coba baca di bukunya Kwiek Kian Gie, "Ekonomi Bisnis" yang jadi pegangan di STIE Perbanas. Buku ini tepat untuk analisis bisnis, seperti kecanggihan Kwiek menganalisis bisnis.
Namun dalam analisis, Kwiek selalu mengesampingkan faktor lucky itu pada investasi, tetapi tidak menegasikan. Saya juga. Orang China justru memakai lucky sebagai faktor utama yang mereka sebut hongsui.
Selain bangsa China, Niccholo Machiavelli juga memakai lucky sebagai faktor dalam menganalisis keruntuhan Romawi di bukunya "Discoursi". Orang Jawa, menjadikan lucky sebagai faktor dalam Ilmu Kejawen (Parsudi Suparlan, prof, 1986).
"Mengapa di Romawi, tidak lebih tiap 40 tahun, rezimnya selalu tumbang oleh pemberontakan? Sedang di Yunani, lebih 900 tahun, di bawah hukum Liqurgus dijagai para Spartan, tak ada gejolak yang berarti", tulis Machiavelli di Discorsi.
Glorium! Machiavelli menggunakan frasa kata "Glorium". Dalam kamus Webster, adalah lucky, sama dengan keberuntungan, nasib baik. Pada Kejawen adalah pulung dan bajra.
Terminologi glorium tampaknya adalah nasib baik. Rakyat Romawi tak memiliki nasib baik untuk memiliki pemimpin yang baik, kata Machiavelli. Sedangkan pemimpin terpilih, tak memiliki nasib baik untuk menjadi pemimpin yang baik.
Itu pula yang terjadi pada Presiden Jokowi. Dia tak punya nasib baik untuk menjadi pemimpin yang baik. Pada semua analisis itu, anjurannya agar pemimpin yang tak punya nasib baik untuk menjadi pemimpin yang baik, harus diganti. Pergantian, determinasinya adalah growth economic sebagai faktor.
Jadi pesimis growth economic mendatang akan melampaui 5 persen di bawah nasib baik Jokowi. Prediksi sebelumnya, melesak ke 4,7 persen. Ramalan pekan lalu, malah negara-negara lebih kecil penduduknya dibanding Indonesia tumbuh di atas 6 persen. Tak ada nama Indonesia di situ. Padahal Menkeunya, Sri Mulyani adalah Menteri Keuangan terbaik dunia versi Bank Dunia.
Tak ada yang salah dalam metodologi kecuali yang dikemukakan Rizal Ramli: Sri Mulyani lahir dari kasus korupsi besar yang membawanya ke IMF. Dari caranya menipu Kang Said Agil Sirodj, Sri Mulyani mengambil keuntungan dari pihak lain dengan cara membayar Rp 210 miliar, dan mengambil Rp 1,5 triliun, lalu diframing sudah dibayar lunas ke PBNU.
Yang salah, rakyat tak punya nasib baik untuk memiliki pemimpin yang baik. Kabur tuh si growth. Adanya skandal korupsi, tumbuh bagai jamur di musim hujan.
Penulis adalah anggota Komisi Hukum DPR (periode 2004- 2009), Wasek LPBH Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
SECARA adatnya, pertumbuhan ekonomi dapat dikerek, jika pemimpinnya diganti. Ganti si Jokowi, ayo taruhan potong leher, ekonomi meroket. Itu yang selalu dikerjakan orang. Ekonomi melesak, ganti pemimpinnya. Sembuh? 73 persen sembuh.
Secara ilmu ekonomi, yang diperbaiki dengan mengganti pemimpin adalah faktor lucky (keberuntungan). Faktor lucky dalam ilmu ekonomi, menempati variabel teratas. Coba baca di bukunya Kwiek Kian Gie, "Ekonomi Bisnis" yang jadi pegangan di STIE Perbanas. Buku ini tepat untuk analisis bisnis, seperti kecanggihan Kwiek menganalisis bisnis.
Namun dalam analisis, Kwiek selalu mengesampingkan faktor lucky itu pada investasi, tetapi tidak menegasikan. Saya juga. Orang China justru memakai lucky sebagai faktor utama yang mereka sebut hongsui.
Selain bangsa China, Niccholo Machiavelli juga memakai lucky sebagai faktor dalam menganalisis keruntuhan Romawi di bukunya "Discoursi". Orang Jawa, menjadikan lucky sebagai faktor dalam Ilmu Kejawen (Parsudi Suparlan, prof, 1986).
"Mengapa di Romawi, tidak lebih tiap 40 tahun, rezimnya selalu tumbang oleh pemberontakan? Sedang di Yunani, lebih 900 tahun, di bawah hukum Liqurgus dijagai para Spartan, tak ada gejolak yang berarti", tulis Machiavelli di Discorsi.
Glorium! Machiavelli menggunakan frasa kata "Glorium". Dalam kamus Webster, adalah lucky, sama dengan keberuntungan, nasib baik. Pada Kejawen adalah pulung dan bajra.
Terminologi glorium tampaknya adalah nasib baik. Rakyat Romawi tak memiliki nasib baik untuk memiliki pemimpin yang baik, kata Machiavelli. Sedangkan pemimpin terpilih, tak memiliki nasib baik untuk menjadi pemimpin yang baik.
Itu pula yang terjadi pada Presiden Jokowi. Dia tak punya nasib baik untuk menjadi pemimpin yang baik. Pada semua analisis itu, anjurannya agar pemimpin yang tak punya nasib baik untuk menjadi pemimpin yang baik, harus diganti. Pergantian, determinasinya adalah growth economic sebagai faktor.
Jadi pesimis growth economic mendatang akan melampaui 5 persen di bawah nasib baik Jokowi. Prediksi sebelumnya, melesak ke 4,7 persen. Ramalan pekan lalu, malah negara-negara lebih kecil penduduknya dibanding Indonesia tumbuh di atas 6 persen. Tak ada nama Indonesia di situ. Padahal Menkeunya, Sri Mulyani adalah Menteri Keuangan terbaik dunia versi Bank Dunia.
Tak ada yang salah dalam metodologi kecuali yang dikemukakan Rizal Ramli: Sri Mulyani lahir dari kasus korupsi besar yang membawanya ke IMF. Dari caranya menipu Kang Said Agil Sirodj, Sri Mulyani mengambil keuntungan dari pihak lain dengan cara membayar Rp 210 miliar, dan mengambil Rp 1,5 triliun, lalu diframing sudah dibayar lunas ke PBNU.
Yang salah, rakyat tak punya nasib baik untuk memiliki pemimpin yang baik. Kabur tuh si growth. Adanya skandal korupsi, tumbuh bagai jamur di musim hujan.
Penulis adalah anggota Komisi Hukum DPR (periode 2004- 2009), Wasek LPBH Pengurus Besar Nahdlatul Ulama