*Penulis: Hersubeno Arief
Tidak biasanya Menko Maritim Luhut Panjaitan yang dikenal selalu tampil garang, memposting tulisan bernada melow.
Senin sore (22/7) melalui akun facebooknya Luhut menulis kegiatan pribadinya. Dia berziarah ke makam mantan Menhankam/ Panglima TNI Leonardus Benjamin Moerdani di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
“ Tiba-tiba saya teringat pak Benny.” Begitu Luhut memulai tulisannya.
“Saya pada suatu pagi minggu lalu memutuskan untuk berziarah ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Nasional Kalibata. Di pusara beliau saya memberi hormat penuh lalu mendoakan agar arwahnya diterima di sisi-Nya sesuai dengan amal jasanya sewaktu masih hidup.”
Kemudian saya sentuh batu nisannya, lanjutnya. “Saya baca tulisan di nisan itu, beliau meninggal pada 29 Agustus 2004, setelah dirawat beberapa waktu di RSPAD Gatot Soebroto. Usianya 72 tahun. Relatif masih muda.”
Konten dan gaya penulisannya terkesan sangat personal. Melalui tulisan itu Luhut kemudian bercerita tentang Benny. Seorang loyalis Soeharto yang kemudian tersingkir dari kekuasaan.
Namun satu hal yang dicatat Luhut, apapun sikap dan perlakuan Soeharto kepedanya, Benny tak pernah kehilangan kesetiaannya.
Tersingkirnya Benny dari elit kekuasaan Orde Baru berdampak langsung terhadap Luhut. Sebagai salah satu Golden Boys Benny, begitu Luhut menyebut dirinya, dia juga harus menerima konskuensinya. Karir militernya mentok.
Sebagai lulusan terbaik Akmil 1970, mendapat penghargaan Adhi Makayasa, Luhut terpilih masuk ke korps pasukan elit Kopassus TNI AD. Namun karir militernya tidak cemerlang.
“Tidak jadi Danjen Kopassus, tidak jadi Kasdam atau Pangdam; bagi saya itu harus bayar sebagai akibat kesetiaan yang tegak lurus,” tulisnya.
Luhut benar, jabatan tertingginya di lingkungan teritorial hanya mentok sebagai Komandan Komando Resort Militer 081/Dhirotsaha Jaya di Madiun Jatim. Pada jabatan ini dia juga menorehkan prestasi sebagai Danrem terbaik.
Setelah itu dia tak pernah menempati posisi komando yang penting. Jabatan Danjen Kopassus malah berhasil diraih oleh teman satu angkatannya di Akmil 1970 Soebagjo HS. Padahal secara akademis dan militer, Luhut lebih menonjol.
Jabatan tertinggi di lingkungan militer yang diraih Luhut “hanya” menjadi Komandan Kodiklatad di Bandung dengan pangkat Mayjen. Pangkat Jenderal bintang empat yang diperolehnya melalui penghargaan yang disebut sebagai jenderal kehormatan (Hor).
Karir Luhut justru cemerlang di luar lingkungan militer. Dia diangkat menjadi Dubes Singapura pada masa pemerintahan Habibie dan kemudian menjadi Menteri Perindustrian di era Presiden Abdurahman Wahid.
Sempat menepi pada masa pemerintahan Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono, karir Luhut kembali cemerlang pada masa pemerintahan Jokowi.
Menempati posisi awal sebagai Kepala Staf Presiden (KSP) Luhut kemudian sempat menjadi Menkopolhukam, dan sekarang menjadi Menko Maritim. Melalui berbagai jabatannya ini Luhut menunjukkan pengaruhnya yang besar sebagai pejabat yang paling diandalkan Presiden Jokowi.
Semua urusan baik politik, ekonomi, sampai kegiatan pribadi Jokowi (menikahkan anak) tak lepas dari sentuhan Luhut. Dengan posisi dan perannya Luhut mendapat julukan sebagai menteri semua urusan. Perannya bahkan terkesan lebih besar dibandingkan dengan Wapres Jusuf Kalla.
Power struggle
Dengan semua kekuasaan dan kesuksesan di tangan, menjadi pertanyaan besar mengapa Jenderal Luhut tiba-tiba terkesan melow. Terkesan dia sedang sendirian dan berada di sebuah ujung perjalanan karirnya.
Coba simak salah satu kalimat yang ditulisnya:
“Beberapa lama saya pandang pusaranya yang sederhana, sesederhana ribuan pusara lain di TMP Kalibata yang seolah mengisyaratkan bahwa bila wafat, hanya gundukan tanah seluas 1 x 2 meter itulah yang tersisa.”
Betapa pun kayanya seseorang, lanjutnya. Betapa berkuasanya sewaktu masih hidup; “hanya tanah itu yang menandakan bahwa ada sesosok manusia yang pernah hidup di dunia.”
Sungguh sangat kontemplatif dan menunjukkan sikap seseorang yang sudah siap meninggalkan semua hiruk pikuk duniawi.
Bila menyimak hasil Pilpres 2019 yang baru lalu, Luhut sesungguhnya sedang menyambut masa kejayaan berikutnya.
Mengacu pada masa pemerintahan Jokowi periode pertama, Luhut akan kembali memainkan peran besar, bahkan lebih besar.
Dengan posisi Wapres ditempati Maruf Amin, besar kemungkinan Luhut akan mengambil peran internasional yang lebih besar. Sebuah peran yang selama ini dimainkan oleh Jusuf Kalla.
Secara bisnis Luhut juga sedang berada dalam puncak keemasan. Dia baru saja membangun gedung perkantoran bernama Sopo Del Tower, tempat kerajaan bisnisnya berpusat.
Gedung berlokasi di kawasan elit Mega Kuningan, Jakarta Selatan itu baru saja memenangkan tender dan menjadi kantor Pusat PT Pertamina.
Jadi seharusnya tak ada alasan bagi Luhut untuk cepat-cepat mengingat kematian. Apalagi dia menyebut usia Benny ketika meninggal dunia, masih relatif muda, 72 tahun. Usia Luhut sendiri baru akan mencapai 72 tahun pada 28 September mendatang.
Apakah sikap melow Luhut ada kaitannya dengan pertarungan kekuasaan di seputar Jokowi pasca Pilpres? Lebih khusus lagi pasca pertemuan Jokowi-Prabowo di stasiun MRT? Kebetulan dalam tulisan itu Luhut juga menyinggung konflik masa lalu Prabowo dengan Benny.
Pertemuan Jokowi-Prabowo berhasil dilaksanakan berkat tangan dingin Kepala BIN Budi Gunawan. Jenderal polisi ini dikenal sebagai orang dekat Megawati. Sebelumnya Luhut berkali-kali mencoba mempertemukan Jokowi dengan Prabowo, namun gagal. end. (*)